Judul asli: Xiaoao Jianghu
Karya : Jin Yong (Chin Yung)
Musim semi selalu menjadi saat paling tepat untuk bersantai di setiap tahun. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dengan lembut meniup dedaunan pohon liu dan bunga-bunga liar, membuat udara terasa begitu segar bagi siapa saja yang menghirupnya.
Di tepi selatan jalan raya berbatu yang membentang dari gerbang barat Kota Fuzhou, Provinsi Fujian, berdiri sebuah gedung yang cukup megah. Di depan gedung itu tampak menjulang dua batang tiang bendera berukuran tujuh meter. Pada masing-masing tiang terpasang bendera berwarna hijau yang berkibaran tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan gambar seekor singa jantan dengan benang warna kuning. Sewaktu bendera melambai-lambai, gambar singa itu bagaikan hidup, seolah hendak melompat dan siap menerkam setiap saat. Tepat di atas kepala singa tersulam gambar dua ekor kelelawar dengan benang warna hitam, masing-masing sedang mengepakkan sayapnya. Sementara itu pada bendera yang terpasang di tiang sebelah kanan tampak bersulamkan benang warna hitam pula yang membentuk tulisan berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Melihat betapa kuat dan indahnya sulaman pada kedua bendera tersebut, jelas semuanya dikerjakan oleh kaum ahli yang ternama.
Pintu utama gedung tersebut berwarna merah dengan dihiasi paku-paku tembaga seukuran cawan teh. Diterpa sinar matahari, paku-paku tembaga itu tampak bercahaya dan berkilat-kilat. Di atas pintu terpasang sebuah papan nama berwarna hitam, bertuliskan huruf-huruf kuning emas berukuran besar yang juga berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Di bawah huruf-huruf besar tersebut melintang beberapa huruf yang lebih kecil, berbunyi “Kantor Pusat”.
Di balik pintu utama –di sebelah kanan dan kiri lorong– terdapat dua baris bangku panjang. Tampak duduk di sana delapan orang laki-laki gagah berseragam rapi sedang asyik bersenda gurau.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda. Kedelapan pria berseragam itu serentak bangkit dan berlari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung muncul lima orang penunggang kuda yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama tadi. Kuda yang paling depan berwarna putih bersih, memakai pelana indah yang tepiannya dihiasi sepuhan perak. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian mewah berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Di atas bahu pemuda itu hinggap seekor elang pemburu. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya, serta seperangkat busur dan anak panah tampak menghiasi punggungnya. Tangan kirinya juga memegang sehelai cambuk. Keempat penunggang yang lain berada di belakang, dan semuanya mengenakan seragam warna hitam.
“Tuan Muda hendak berburu lagi!” seru tiga di antara delapan laki-laki penjaga pintu hampir bersamaan.
Pemuda itu tersenyum sambil melecutkan cambuknya ke udara. Kuda putih tunggangannya langsung meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan, kemudian melaju kencang bagaikan terbang.
“Pengawal Shi,” sahut salah seorang penjaga pintu gerbang, “bagaimana kalau nanti kami dibawakan seekor babi hutan untuk makan malam?”
“Jangan khawatir, akan kami sisakan ekornya saja untuk kalian,” jawab seorang penunggang kuda berusia empat puluhan yang dipanggil Pengawal Shi itu. “Yang penting berjagalah dengan baik dan jangan mabuk sebelum kami pulang.”
Usai berkata demikian, ia langsung memacu kuda menyusul sang Tuan Muda diiringi ketiga rekannya meninggalkan kedelapan penjaga pintu yang ramai bergelak tawa tersebut.
Tuan muda yang melaju paling depan tadi bernama Lin Pingzhi, putra tunggal pemilik Biro Ekspedisi Fuwei. Kuda putih yang dikendarainya berlari kencang bagaikan terbang di udara. Hanya dalam waktu singkat keempat pengikutnya sudah tertinggal jauh di belakang. Adapun keempat pengikutnya itu adalah para pegawai biro, yang terdiri atas dua orang pengawal bermarga Shi dan Zheng, serta dua orang pengiring bernama Bai Er dan Chen Qi.
Begitu sampai di atas tanjakan bukit, Lin Pingzhi segera melepaskan elang pemburunya. Tidak lama kemudian sepasang kelinci berwarna coklat kekuningan sudah berlari-lari keluar dari dalam hutan karena diburu elang tersebut. Dengan cepat Lin Pingzhi melepaskan anak panahnya. Seekor di antara dua kelinci itu langsung roboh di tanah. Sewaktu hendak membidik lagi, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang di dalam semak-semak.
Pengawal Zheng dan yang lain baru saja tiba. Dengan tertawa ia memuji, “Sungguh hebat bidikan Tuan Muda!”
Kemudian terdengar suara Bai Er berseru dari dalam hutan sebelah kiri mereka, “Tuan Muda, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”
Lin Pingzhi menjalankan kudanya menuju tempat itu dan melihat seekor ayam hutan berbulu indah melayang keluar dari balik semak pohon. Segera ia melepaskan panah namun meleset, sementara ayam itu justru melayang di atas kepalanya. Dengan cekatan pemuda itu melecutkan cambuknya ke atas, sehingga ayam tersebut langsung jatuh ke bawah dan bulunya yang berwarna-warni tampak bertebaran di udara.
Kelima orang Biro Fuwei itu pun bergelak tawa melihatnya.
“Jangankan cuma seekor ayam hutan, lecutan cambuk Tuan Muda bahkan mampu menjatuhkan seekor rajawali,” ujar Pengawal Shi memuji.
Mereka berlima lantas menyusur kian kemari sampai ke tengah hutan. Demi untuk menyenangkan hati sang majikan muda, kedua pengawal dan kedua pengiring selalu mengusik setiap binatang yang mereka temui dan menggiringnya ke arah Lin Pingzhi. Padahal sebenarnya, mereka sendiri mampu membinasakan hewan-hewan tersebut. Tidak terasa, perburuan tersebut sudah melewati empat jam. Tampak Lin Pingzhi telah mendapatkan tambahan dua ekor kelinci dan dua ekor ayam hutan lagi. Namun demikian, ia masih belum puas juga dan ingin memperoleh hasil yang lebih besar.
“Mari kita mencari lagi di depan sana, dan coba lihat apa yang bisa kita temukan,” ajak pemuda itu.
Diam-diam Pengawal Shi berpikir kalau menuruti hasrat sang majikan muda, bisa jadi sampai hari gelap pun tidak akan berhenti. Tentu pada akhirnya para pengawal yang akan ditegur nyonya majikan. Maka, Pengawal Shi pun menyahut, “Hari sudah mendekati petang. Jalan di sini banyak batunya dan sukar dilewati. Bisa-bisa kuda putih terpeleset jatuh. Selagi hari masih terang lebih baik kita pulang sekarang saja. Bagaimana kalau besok kita berangkat lebih awal supaya bisa mendapatkan buruan yang lebih besar?”
Pengawal Shi sangat hafal sifat sang majikan muda yang keras kepala dan sulit dibujuk, kecuali dengan menyampaikan kemungkinan bahwa si kuda putih akan mengalami celaka atau terluka. Lin Pingzhi memang sangat menyayangi hewan tunggangannya itu. Kuda tersebut berasal dari negeri barat yang kemudian dibeli oleh neneknya dari pihak ibu yang tinggal di Kota Luoyang dengan sejumlah emas. Kuda itu lalu diberikan kepadanya sebagai hadiah saat ia berulang tahun yang ketujuh belas.
Sesuai dugaan, Lin Pingzhi tampak tertegun sejenak kemudian menepuk leher kudanya sambil berkata, “Si Naga Putih sangat cerdik dan pintar. Justru kuda-kuda kalian itu yang perlu dikhawatirkan. Baiklah, kita pulang saja. Aku takut pantat Chen Qi yang akan pecah terbentur batu kalau kudanya nanti tiba-tiba terpeleset.”
Sambil bergelak tawa, kelima orang itu memutar kuda masing-masing kembali ke arah semula. Lin Pingzhi melaju paling depan dan menempuh jalur berbeda dibandingkan sewaktu berangkat tadi. Kali ini ia membelokkan kudanya ke arah utara dan memacunya dengan kencang. Setelah melaju cukup lama dan merasa puas, ia lalu memperlambat langkah kudanya perlahan-lahan. Tampak di tepi jalan terpancang panji sebuah kedai penjual arak.
“Tuan Muda!” seru Pengawal Zheng yang telah menyusul bersama ketiga lainnya. “Bagaimana kalau kita minum dulu barang secawan di situ? Daging kelinci dan ayam hutan yang masih segar ini sangat cocok sebagai teman minum arak.”
Lin Pingzhi tertawa dan menjawab, “Sebenarnya kalian tidak sungguh-sungguh menemani aku berburu, tetapi hanya ingin keluar untuk minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir minum, tentu besok kalian akan malas jika kuajak keluar lagi.” Usai berkata demikian pemuda itu mendahului ke depan. Begitu tiba di depan kedai arak, ia langsung melompat turun dari kudanya dan memasuki kedai tersebut.
Biasanya, si pemilik kedai yang bernama si tua Cai segera muncul keluar untuk menambatkan kuda pemuda itu sambil mengucapkan kata-kata sanjung puji, misalnya, “Wah, wah, coba lihat! Tuan Muda baru saja berburu. Hasil buruannya begitu banyak. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kepandaian Tuan Muda?”
Namun hari ini sungguh berbeda. Si tua Cai tidak terlihat muncul, suasana kedai juga tampak sunyi senyap. Yang terlihat hanya seorang gadis muda berbaju hijau dengan dua konde di atas kepala sedang duduk di samping anglo. Sepertinya ia sibuk memasak arak sampai-sampai tidak menoleh sedikit pun untuk memandang ke arah Lin Pingzhi dan rombongan.
“Kau di mana, Cai Tua?” seru Pengawal Zheng. “Lekaslah keluar menuntun kuda Tuan Muda!”
Bai Er dan Chen Qi segera menarik bangku panjang di samping salah satu meja, kemudian membersihkan debu di atasnya menggunakan lengan baju masing-masing. Setelah itu keduanya pun mempersilakan Lin Pingzhi duduk. Pengawal Shi dan Pengawal Zheng mendampingi sang tuan muda, sementara kedua pengiring mengambil tempat duduk pada meja yang lain.
Dari dalam terdengar suara orang terbatuk-batuk, disusul kemudian muncul seorang laki-laki berambut putih memberi sambutan, “Selamat datang, Tuan-Tuan. Apakah Anda sekalian mau minum arak?” Dilihat dari logatnya sepertinya ia berasal dari daerah utara.
“Memangnya kami kemari mau minum teh? Tentu saja kami mau minum arak. Lekas bawakan kami tiga poci Arak Bambu Hijau,” sahut Pengawal Zheng. “Hei, ke mana perginya si tua Cai? Apa kedai ini sudah berganti pemilik?”
“Baik, baik, Tuan! Wan’er, lekas bawakan tiga poci arak Bambu Hijau,” sahut orang tua itu sekaligus memerintah si gadis baju hijau. “Sekadar perkenalan, saya bermarga Sa. Sebenarnya saya lahir di kota ini namun sejak kecil sudah ikut berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Anak dan menantu sudah meninggal semua. Ibarat pepatah mengatakan, setinggi-tingginya pohon menjulang tetap saja daunnya jatuh di dekat akar.
Akhirnya, saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman sini bersama cucu perempuan saya tadi. Tidak disangka setelah empat puluh tahun lebih meninggalkan kampung halaman, seluruh sanak keluarga sudah tak tersisa seorang pun. Ada yang meninggal, ada pula yang pindah ke daerah lain. Untunglah saya bertemu Cai Tua yang merasa jenuh meneruskan usahanya. Ia menjual kedai arak ini kepada kami seharga tiga puluh tahil perak. Senang rasanya bisa pulang ke tanah kelahiran dan mendengar logat daerah ini. Namun, malu juga rasanya sudah lupa bahasa kampung sendiri.”
Sementara itu, si gadis berbaju hijau yang dipanggil Wan’er tadi telah datang membawa sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Dipindahkannya cawan, sumpit, dan tiga poci arak pada nampan itu ke atas meja Lin Pingzhi. Setelah menjalankan tugasnya, dengan kepala tetap menunduk ia menyingkir pergi. Sedikit pun tidak memandang wajah para tamunya.
Lin Pingzhi tertegun melihat perawakan Wan’er yang langsing tetapi berkulit gelap dan kasap. Muka gadis itu sangat jelek, penuh dengan burik bekas penyakit cacar. Mungkin karena baru saja melakukan pekerjaan sebagai penjual arak, gerak-geriknya terlihat masih kaku. Demikian pikir Lin Pingzhi sehingga ia tidak lagi memedulikan tingkah laku gadis tersebut.
Sementara itu, Pengawal Shi telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada Kakek Sa, dan berkata, “Tolong kau bersihkan dan masaklah menjadi dua piring!”
“Baik, baik!” sahut Kakek Sa penuh hormat. “Sebagai teman minum arak, silakan Tuan-Tuan menikmati dulu sedikit daging rebus dan kacang goreng kedai kami.”
Tanpa menunggu perintah, si gadis burik bernama Wan’er segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng tersebut untuk dihidangkan ke meja tamu-tamunya.
Pengawal Zheng berkata, “Tuan Muda Lin ini adalah putra majikan Biro Ekspedisi Fuwei. Beliau seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati. Bagi tuan muda kami uang bukanlah masalah. Asalkan masakanmu nanti cocok dengan seleranya, maka semua modal yang telah kau keluarkan untuk membuka kedai ini pasti akan segera kembali.”
“Baik, baik! Terima kasih banyak, terima kasih banyak!” jawab Kakek Sa penuh hormat, kemudian pergi ke dapur membawa ayam hutan dan kelinci tadi.
Pengawal Zheng lantas menuangkan arak untuk Lin Pingzhi dan Pengawal Shi, serta untuk dirinya sendiri. Sekali teguk ia sudah menghabiskan isi cawannya. Sambil berkecap-kecap ia berkata, “Kedai ini sudah berganti pemilik, tapi rasa araknya tidak berubah.”
Usai berkata ia kembali mengisi cawannya dengan arak yang berwarna hijau seperti daun bambu itu. Baru saja hendak minum untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di luar kedai. Tampak dua orang penunggang muncul dari arah utara. Mereka memacu kuda masing-masing dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah sampai di depan kedai.
Terdengar salah seorang dari mereka berseru, “Hei, di sini ada kedai arak! Mari kita minum dulu barang secawan!”
Pengawal Shi dapat mengenali logat bicara orang-orang itu sepertinya berasal dari Provinsi Sichuan. Begitu menoleh keluar ia melihat dua orang laki-laki memakai topi berpinggiran lebar –seperti caping– dengan baju berwarna ungu. Setelah menambatkan kuda masing-masing mereka lantas masuk ke dalam kedai. Sekilas kedua orang itu memandang ke arah Lin Pingzhi dan yang lain, kemudian duduk dengan lagak seperti tuan besar.
Begitu caping dibuka, tampak kedua orang itu memakai ikat kepala berupa kain warna putih. Yang tampak aneh lagi adalah kaki mereka memakai sandal rami bertali, bukan sepatu seperti masyarakat pada umumnya. Pengawal Shi paham tradisi orang Sichuan kebanyakan memang berdandan seperti itu. Sejak kematian Perdana Menteri Zhuge Liang pada zaman Tiga Negara, orang-orang Sichuan merasa sangat kehilangan. Dengan memakai ikat kepala warna putih, mereka senantiasa menunjukkan sikap berkabung meskipun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari seribu tahun.
Sementara itu, Lin Pingzhi yang tidak tahu menahu diam-diam merasa heran. Ia berpikir, “Dandanan kedua orang ini halus tidak, kasar juga tidak. Pakaian mereka rapi, tapi alas kaki seperti kaum rendahan. Benar-benar aneh.”
“Arak! Bawakan kami arak!” seru salah seorang yang lebih muda. “Sialan! Pegunungan di wilayah Fujian ini benar-benar banyak. Sampai-sampai kuda pun kepayahan.”
Dengan muka menunduk, Wan’er si gadis burik mendekati kedua tamunya yang baru datang itu. Ia pun bertanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”
Walaupun suaranya sangat pelan tapi terdengar merdu. Lelaki muda tadi melongok. Tiba-tiba ia tertawa sambil menjulurkan tangan kanan menyentuh dagu Wan’er sehingga muka gadis itu mendongak ke atas. Tak lama kemudian terdengar suaranya berseru sambil tertawa, “Wah, sayang! Sungguh sayang!”
Wan’er terkejut dan segera melangkah mundur. Laki-laki yang satunya menyahut sambil tertawa, “Adik Yu, tubuh nona belang ini boleh juga. Sayang sekali mukanya kasap seperti kertas amplas.”
Kedua orang Sichuan itu lantas tertawa lebih keras dan terbahak-bahak.
Melihat ulah mereka Lin Pingzhi naik darah. Ia menggebrak meja sambil berteriak, “Makhluk macam apa kalian ini? Dua bajingan buta berani kurang ajar di Kota Fuzhou kita!”
“Hei, Kakak Jia, ada orang sedang mencaci-maki. Menurutmu, anak kelinci itu sedang memaki siapa?” ujar pemuda bermarga Yu sambil mencibir.
Muka Lin Pingzhi memang putih dan cantik seperti ibunya. Biasanya kalau ada yang berani mengolok-olok, pasti orang itu akan langsung ditampar olehnya. Sekarang mendengar ada orang asing berani menyebutnya sebagai anak kelinci –yang maksudnya berkulit putih halus– sudah tentu ia sangat tersinggung. Tanpa pikir lagi, ia pun menyambar poci arak di atas meja dan melemparkannya ke arah orang Sichuan itu. Namun demikian, si marga Yu sempat berkelit sehingga poci yang terbuat dari timah itu terus saja melayang ke luar kedai. Arak pun berceceran di lantai. Serentak Pengawal Shi dan Pengawal Zheng bangkit dan melompat maju ke sisi kedua orang dari Sichuan tersebut.
Si marga Yu masih saja tertawa dan mengejek, “Bocah ini lebih baik naik panggung opera dan berperan sebagai pelacur kecil, mungkin lebih menarik. Kalau berkelahi jelas dia tidak pantas.”
Lanjut Bagian 2
Karya : Jin Yong (Chin Yung)
Musim semi selalu menjadi saat paling tepat untuk bersantai di setiap tahun. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dengan lembut meniup dedaunan pohon liu dan bunga-bunga liar, membuat udara terasa begitu segar bagi siapa saja yang menghirupnya.
Di tepi selatan jalan raya berbatu yang membentang dari gerbang barat Kota Fuzhou, Provinsi Fujian, berdiri sebuah gedung yang cukup megah. Di depan gedung itu tampak menjulang dua batang tiang bendera berukuran tujuh meter. Pada masing-masing tiang terpasang bendera berwarna hijau yang berkibaran tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan gambar seekor singa jantan dengan benang warna kuning. Sewaktu bendera melambai-lambai, gambar singa itu bagaikan hidup, seolah hendak melompat dan siap menerkam setiap saat. Tepat di atas kepala singa tersulam gambar dua ekor kelelawar dengan benang warna hitam, masing-masing sedang mengepakkan sayapnya. Sementara itu pada bendera yang terpasang di tiang sebelah kanan tampak bersulamkan benang warna hitam pula yang membentuk tulisan berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Melihat betapa kuat dan indahnya sulaman pada kedua bendera tersebut, jelas semuanya dikerjakan oleh kaum ahli yang ternama.
Pintu utama gedung tersebut berwarna merah dengan dihiasi paku-paku tembaga seukuran cawan teh. Diterpa sinar matahari, paku-paku tembaga itu tampak bercahaya dan berkilat-kilat. Di atas pintu terpasang sebuah papan nama berwarna hitam, bertuliskan huruf-huruf kuning emas berukuran besar yang juga berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Di bawah huruf-huruf besar tersebut melintang beberapa huruf yang lebih kecil, berbunyi “Kantor Pusat”.
Di balik pintu utama –di sebelah kanan dan kiri lorong– terdapat dua baris bangku panjang. Tampak duduk di sana delapan orang laki-laki gagah berseragam rapi sedang asyik bersenda gurau.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda. Kedelapan pria berseragam itu serentak bangkit dan berlari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung muncul lima orang penunggang kuda yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama tadi. Kuda yang paling depan berwarna putih bersih, memakai pelana indah yang tepiannya dihiasi sepuhan perak. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian mewah berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Di atas bahu pemuda itu hinggap seekor elang pemburu. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya, serta seperangkat busur dan anak panah tampak menghiasi punggungnya. Tangan kirinya juga memegang sehelai cambuk. Keempat penunggang yang lain berada di belakang, dan semuanya mengenakan seragam warna hitam.
“Tuan Muda hendak berburu lagi!” seru tiga di antara delapan laki-laki penjaga pintu hampir bersamaan.
Pemuda itu tersenyum sambil melecutkan cambuknya ke udara. Kuda putih tunggangannya langsung meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan, kemudian melaju kencang bagaikan terbang.
“Pengawal Shi,” sahut salah seorang penjaga pintu gerbang, “bagaimana kalau nanti kami dibawakan seekor babi hutan untuk makan malam?”
“Jangan khawatir, akan kami sisakan ekornya saja untuk kalian,” jawab seorang penunggang kuda berusia empat puluhan yang dipanggil Pengawal Shi itu. “Yang penting berjagalah dengan baik dan jangan mabuk sebelum kami pulang.”
Usai berkata demikian, ia langsung memacu kuda menyusul sang Tuan Muda diiringi ketiga rekannya meninggalkan kedelapan penjaga pintu yang ramai bergelak tawa tersebut.
Tuan muda yang melaju paling depan tadi bernama Lin Pingzhi, putra tunggal pemilik Biro Ekspedisi Fuwei. Kuda putih yang dikendarainya berlari kencang bagaikan terbang di udara. Hanya dalam waktu singkat keempat pengikutnya sudah tertinggal jauh di belakang. Adapun keempat pengikutnya itu adalah para pegawai biro, yang terdiri atas dua orang pengawal bermarga Shi dan Zheng, serta dua orang pengiring bernama Bai Er dan Chen Qi.
Begitu sampai di atas tanjakan bukit, Lin Pingzhi segera melepaskan elang pemburunya. Tidak lama kemudian sepasang kelinci berwarna coklat kekuningan sudah berlari-lari keluar dari dalam hutan karena diburu elang tersebut. Dengan cepat Lin Pingzhi melepaskan anak panahnya. Seekor di antara dua kelinci itu langsung roboh di tanah. Sewaktu hendak membidik lagi, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang di dalam semak-semak.
Pengawal Zheng dan yang lain baru saja tiba. Dengan tertawa ia memuji, “Sungguh hebat bidikan Tuan Muda!”
Kemudian terdengar suara Bai Er berseru dari dalam hutan sebelah kiri mereka, “Tuan Muda, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”
Lin Pingzhi menjalankan kudanya menuju tempat itu dan melihat seekor ayam hutan berbulu indah melayang keluar dari balik semak pohon. Segera ia melepaskan panah namun meleset, sementara ayam itu justru melayang di atas kepalanya. Dengan cekatan pemuda itu melecutkan cambuknya ke atas, sehingga ayam tersebut langsung jatuh ke bawah dan bulunya yang berwarna-warni tampak bertebaran di udara.
Kelima orang Biro Fuwei itu pun bergelak tawa melihatnya.
“Jangankan cuma seekor ayam hutan, lecutan cambuk Tuan Muda bahkan mampu menjatuhkan seekor rajawali,” ujar Pengawal Shi memuji.
Mereka berlima lantas menyusur kian kemari sampai ke tengah hutan. Demi untuk menyenangkan hati sang majikan muda, kedua pengawal dan kedua pengiring selalu mengusik setiap binatang yang mereka temui dan menggiringnya ke arah Lin Pingzhi. Padahal sebenarnya, mereka sendiri mampu membinasakan hewan-hewan tersebut. Tidak terasa, perburuan tersebut sudah melewati empat jam. Tampak Lin Pingzhi telah mendapatkan tambahan dua ekor kelinci dan dua ekor ayam hutan lagi. Namun demikian, ia masih belum puas juga dan ingin memperoleh hasil yang lebih besar.
“Mari kita mencari lagi di depan sana, dan coba lihat apa yang bisa kita temukan,” ajak pemuda itu.
Diam-diam Pengawal Shi berpikir kalau menuruti hasrat sang majikan muda, bisa jadi sampai hari gelap pun tidak akan berhenti. Tentu pada akhirnya para pengawal yang akan ditegur nyonya majikan. Maka, Pengawal Shi pun menyahut, “Hari sudah mendekati petang. Jalan di sini banyak batunya dan sukar dilewati. Bisa-bisa kuda putih terpeleset jatuh. Selagi hari masih terang lebih baik kita pulang sekarang saja. Bagaimana kalau besok kita berangkat lebih awal supaya bisa mendapatkan buruan yang lebih besar?”
Pengawal Shi sangat hafal sifat sang majikan muda yang keras kepala dan sulit dibujuk, kecuali dengan menyampaikan kemungkinan bahwa si kuda putih akan mengalami celaka atau terluka. Lin Pingzhi memang sangat menyayangi hewan tunggangannya itu. Kuda tersebut berasal dari negeri barat yang kemudian dibeli oleh neneknya dari pihak ibu yang tinggal di Kota Luoyang dengan sejumlah emas. Kuda itu lalu diberikan kepadanya sebagai hadiah saat ia berulang tahun yang ketujuh belas.
Sesuai dugaan, Lin Pingzhi tampak tertegun sejenak kemudian menepuk leher kudanya sambil berkata, “Si Naga Putih sangat cerdik dan pintar. Justru kuda-kuda kalian itu yang perlu dikhawatirkan. Baiklah, kita pulang saja. Aku takut pantat Chen Qi yang akan pecah terbentur batu kalau kudanya nanti tiba-tiba terpeleset.”
Sambil bergelak tawa, kelima orang itu memutar kuda masing-masing kembali ke arah semula. Lin Pingzhi melaju paling depan dan menempuh jalur berbeda dibandingkan sewaktu berangkat tadi. Kali ini ia membelokkan kudanya ke arah utara dan memacunya dengan kencang. Setelah melaju cukup lama dan merasa puas, ia lalu memperlambat langkah kudanya perlahan-lahan. Tampak di tepi jalan terpancang panji sebuah kedai penjual arak.
“Tuan Muda!” seru Pengawal Zheng yang telah menyusul bersama ketiga lainnya. “Bagaimana kalau kita minum dulu barang secawan di situ? Daging kelinci dan ayam hutan yang masih segar ini sangat cocok sebagai teman minum arak.”
Lin Pingzhi tertawa dan menjawab, “Sebenarnya kalian tidak sungguh-sungguh menemani aku berburu, tetapi hanya ingin keluar untuk minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir minum, tentu besok kalian akan malas jika kuajak keluar lagi.” Usai berkata demikian pemuda itu mendahului ke depan. Begitu tiba di depan kedai arak, ia langsung melompat turun dari kudanya dan memasuki kedai tersebut.
Biasanya, si pemilik kedai yang bernama si tua Cai segera muncul keluar untuk menambatkan kuda pemuda itu sambil mengucapkan kata-kata sanjung puji, misalnya, “Wah, wah, coba lihat! Tuan Muda baru saja berburu. Hasil buruannya begitu banyak. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kepandaian Tuan Muda?”
Namun hari ini sungguh berbeda. Si tua Cai tidak terlihat muncul, suasana kedai juga tampak sunyi senyap. Yang terlihat hanya seorang gadis muda berbaju hijau dengan dua konde di atas kepala sedang duduk di samping anglo. Sepertinya ia sibuk memasak arak sampai-sampai tidak menoleh sedikit pun untuk memandang ke arah Lin Pingzhi dan rombongan.
“Kau di mana, Cai Tua?” seru Pengawal Zheng. “Lekaslah keluar menuntun kuda Tuan Muda!”
Bai Er dan Chen Qi segera menarik bangku panjang di samping salah satu meja, kemudian membersihkan debu di atasnya menggunakan lengan baju masing-masing. Setelah itu keduanya pun mempersilakan Lin Pingzhi duduk. Pengawal Shi dan Pengawal Zheng mendampingi sang tuan muda, sementara kedua pengiring mengambil tempat duduk pada meja yang lain.
Dari dalam terdengar suara orang terbatuk-batuk, disusul kemudian muncul seorang laki-laki berambut putih memberi sambutan, “Selamat datang, Tuan-Tuan. Apakah Anda sekalian mau minum arak?” Dilihat dari logatnya sepertinya ia berasal dari daerah utara.
“Memangnya kami kemari mau minum teh? Tentu saja kami mau minum arak. Lekas bawakan kami tiga poci Arak Bambu Hijau,” sahut Pengawal Zheng. “Hei, ke mana perginya si tua Cai? Apa kedai ini sudah berganti pemilik?”
“Baik, baik, Tuan! Wan’er, lekas bawakan tiga poci arak Bambu Hijau,” sahut orang tua itu sekaligus memerintah si gadis baju hijau. “Sekadar perkenalan, saya bermarga Sa. Sebenarnya saya lahir di kota ini namun sejak kecil sudah ikut berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Anak dan menantu sudah meninggal semua. Ibarat pepatah mengatakan, setinggi-tingginya pohon menjulang tetap saja daunnya jatuh di dekat akar.
Akhirnya, saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman sini bersama cucu perempuan saya tadi. Tidak disangka setelah empat puluh tahun lebih meninggalkan kampung halaman, seluruh sanak keluarga sudah tak tersisa seorang pun. Ada yang meninggal, ada pula yang pindah ke daerah lain. Untunglah saya bertemu Cai Tua yang merasa jenuh meneruskan usahanya. Ia menjual kedai arak ini kepada kami seharga tiga puluh tahil perak. Senang rasanya bisa pulang ke tanah kelahiran dan mendengar logat daerah ini. Namun, malu juga rasanya sudah lupa bahasa kampung sendiri.”
Sementara itu, si gadis berbaju hijau yang dipanggil Wan’er tadi telah datang membawa sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Dipindahkannya cawan, sumpit, dan tiga poci arak pada nampan itu ke atas meja Lin Pingzhi. Setelah menjalankan tugasnya, dengan kepala tetap menunduk ia menyingkir pergi. Sedikit pun tidak memandang wajah para tamunya.
Lin Pingzhi tertegun melihat perawakan Wan’er yang langsing tetapi berkulit gelap dan kasap. Muka gadis itu sangat jelek, penuh dengan burik bekas penyakit cacar. Mungkin karena baru saja melakukan pekerjaan sebagai penjual arak, gerak-geriknya terlihat masih kaku. Demikian pikir Lin Pingzhi sehingga ia tidak lagi memedulikan tingkah laku gadis tersebut.
Sementara itu, Pengawal Shi telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada Kakek Sa, dan berkata, “Tolong kau bersihkan dan masaklah menjadi dua piring!”
“Baik, baik!” sahut Kakek Sa penuh hormat. “Sebagai teman minum arak, silakan Tuan-Tuan menikmati dulu sedikit daging rebus dan kacang goreng kedai kami.”
Tanpa menunggu perintah, si gadis burik bernama Wan’er segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng tersebut untuk dihidangkan ke meja tamu-tamunya.
Pengawal Zheng berkata, “Tuan Muda Lin ini adalah putra majikan Biro Ekspedisi Fuwei. Beliau seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati. Bagi tuan muda kami uang bukanlah masalah. Asalkan masakanmu nanti cocok dengan seleranya, maka semua modal yang telah kau keluarkan untuk membuka kedai ini pasti akan segera kembali.”
“Baik, baik! Terima kasih banyak, terima kasih banyak!” jawab Kakek Sa penuh hormat, kemudian pergi ke dapur membawa ayam hutan dan kelinci tadi.
Pengawal Zheng lantas menuangkan arak untuk Lin Pingzhi dan Pengawal Shi, serta untuk dirinya sendiri. Sekali teguk ia sudah menghabiskan isi cawannya. Sambil berkecap-kecap ia berkata, “Kedai ini sudah berganti pemilik, tapi rasa araknya tidak berubah.”
Usai berkata ia kembali mengisi cawannya dengan arak yang berwarna hijau seperti daun bambu itu. Baru saja hendak minum untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di luar kedai. Tampak dua orang penunggang muncul dari arah utara. Mereka memacu kuda masing-masing dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah sampai di depan kedai.
Terdengar salah seorang dari mereka berseru, “Hei, di sini ada kedai arak! Mari kita minum dulu barang secawan!”
Pengawal Shi dapat mengenali logat bicara orang-orang itu sepertinya berasal dari Provinsi Sichuan. Begitu menoleh keluar ia melihat dua orang laki-laki memakai topi berpinggiran lebar –seperti caping– dengan baju berwarna ungu. Setelah menambatkan kuda masing-masing mereka lantas masuk ke dalam kedai. Sekilas kedua orang itu memandang ke arah Lin Pingzhi dan yang lain, kemudian duduk dengan lagak seperti tuan besar.
Begitu caping dibuka, tampak kedua orang itu memakai ikat kepala berupa kain warna putih. Yang tampak aneh lagi adalah kaki mereka memakai sandal rami bertali, bukan sepatu seperti masyarakat pada umumnya. Pengawal Shi paham tradisi orang Sichuan kebanyakan memang berdandan seperti itu. Sejak kematian Perdana Menteri Zhuge Liang pada zaman Tiga Negara, orang-orang Sichuan merasa sangat kehilangan. Dengan memakai ikat kepala warna putih, mereka senantiasa menunjukkan sikap berkabung meskipun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari seribu tahun.
Sementara itu, Lin Pingzhi yang tidak tahu menahu diam-diam merasa heran. Ia berpikir, “Dandanan kedua orang ini halus tidak, kasar juga tidak. Pakaian mereka rapi, tapi alas kaki seperti kaum rendahan. Benar-benar aneh.”
“Arak! Bawakan kami arak!” seru salah seorang yang lebih muda. “Sialan! Pegunungan di wilayah Fujian ini benar-benar banyak. Sampai-sampai kuda pun kepayahan.”
Dengan muka menunduk, Wan’er si gadis burik mendekati kedua tamunya yang baru datang itu. Ia pun bertanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”
Walaupun suaranya sangat pelan tapi terdengar merdu. Lelaki muda tadi melongok. Tiba-tiba ia tertawa sambil menjulurkan tangan kanan menyentuh dagu Wan’er sehingga muka gadis itu mendongak ke atas. Tak lama kemudian terdengar suaranya berseru sambil tertawa, “Wah, sayang! Sungguh sayang!”
Wan’er terkejut dan segera melangkah mundur. Laki-laki yang satunya menyahut sambil tertawa, “Adik Yu, tubuh nona belang ini boleh juga. Sayang sekali mukanya kasap seperti kertas amplas.”
Kedua orang Sichuan itu lantas tertawa lebih keras dan terbahak-bahak.
Melihat ulah mereka Lin Pingzhi naik darah. Ia menggebrak meja sambil berteriak, “Makhluk macam apa kalian ini? Dua bajingan buta berani kurang ajar di Kota Fuzhou kita!”
“Hei, Kakak Jia, ada orang sedang mencaci-maki. Menurutmu, anak kelinci itu sedang memaki siapa?” ujar pemuda bermarga Yu sambil mencibir.
Muka Lin Pingzhi memang putih dan cantik seperti ibunya. Biasanya kalau ada yang berani mengolok-olok, pasti orang itu akan langsung ditampar olehnya. Sekarang mendengar ada orang asing berani menyebutnya sebagai anak kelinci –yang maksudnya berkulit putih halus– sudah tentu ia sangat tersinggung. Tanpa pikir lagi, ia pun menyambar poci arak di atas meja dan melemparkannya ke arah orang Sichuan itu. Namun demikian, si marga Yu sempat berkelit sehingga poci yang terbuat dari timah itu terus saja melayang ke luar kedai. Arak pun berceceran di lantai. Serentak Pengawal Shi dan Pengawal Zheng bangkit dan melompat maju ke sisi kedua orang dari Sichuan tersebut.
Si marga Yu masih saja tertawa dan mengejek, “Bocah ini lebih baik naik panggung opera dan berperan sebagai pelacur kecil, mungkin lebih menarik. Kalau berkelahi jelas dia tidak pantas.”
Lanjut Bagian 2