sumberfoto: istimewa |
Nama orang tersebut adalah Djuwari. Tak nampak kegagahan pemuda berumur 21 tahun yang 61 tahun yang lalu memanggul Panglima besar kita, Jendral Sudirman. Tapi coba kalian pandang lebih dekat foto di atas, tampak sisa – sisa kepahlawanan Djuwari.
Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, berkobar menunjukkan semangat perjuangan kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih yang teramat lusuh dan juga tidak dikancingkan.
Karena mungkin satu per satu kancingnya telah lepas, rapuh dimakan usia. Angin pegunungan serta mata manusia bebas mamandang badan kurus keriputnya. Celana pendek yang dipakainya juga tak kalah lusuh dengan bajunya. Kehidupan Djuwari juga tak kalah lusuh dibanding baju serta celana yang dipakainya. Kediamannya di Dusun Goliman masih berdinding anyaman bambu dan belum dilengkapi dengan lantai.
Djuwari selalu bercerita kepada orang – orang bahwa memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada Jendral Sudirman) adalah kebanggaan yang sangat luar biasa. Kakek yang sudah mempunyai tiga cicit itu mengaku jika menjadi pemanggul tandu Sang Jendral merupakan sebuah pengabdian. Semua itu dilakukannya dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan sepeserpun. Menjadi seorang mantan pemanggul tandu Sudirman menjadikan keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Sang Panglima Besar. Pernah suatu kali, ia diberi uang Rp. 500.000,00, namun setelah itu belum ada yang datang membantunya lagi.
Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah zaman mantan Presiden Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras. “Dulu mangkulnya bergantian, kira – kira sekitar tujuh orang” tuturnya. Perjalanan mengantar perang gerilya Jendral Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi dan dikawal banyak pria berseragam. Rute perjalanan yang ditempuh teramat berat karena medan berbukit – bukit dan hutan yang teramat lebat dan gelap.
Seringkali perjalanan dihentikan untuk sekedar duduk dan beristirahat. Kalau sempat dan ada bekal makanan, mereka akan makan. “Dari Bajulan (Nganjuk) lalu kami kembali ke Goliman. Waktu itu kita diberi jarit dan sarung,” imbuhnya. Djuwari menambahkan, waktu itu, istrinya amat senang menerima jarit pemberian Sang Jendral. Karena seringnya dipakai, jarit pemberian itupun menjadi rusak. Kini tinggal kisahnya ikut bergerilyalah yang bisa ia kenang. “Pak Dirman pesan kalau hidup itu harus yang rukun dengan semua orang” katanya.
Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah mamanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Sedangkan tandu yang dulu dipergunakan untuk memanggul Panglima Sudirman dalam Perang Gerilya mengusir penjajah, sekarang tersimpan rapi di Museum Satria Mandala. (sumber: kompasiana.com)
Sorot mata kakek 13 cucu itu masih menyala, berkobar menunjukkan semangat perjuangan kemerdekaan. Sang pemanggul tandu Panglima Besar itu mengenakan baju putih yang teramat lusuh dan juga tidak dikancingkan.
Karena mungkin satu per satu kancingnya telah lepas, rapuh dimakan usia. Angin pegunungan serta mata manusia bebas mamandang badan kurus keriputnya. Celana pendek yang dipakainya juga tak kalah lusuh dengan bajunya. Kehidupan Djuwari juga tak kalah lusuh dibanding baju serta celana yang dipakainya. Kediamannya di Dusun Goliman masih berdinding anyaman bambu dan belum dilengkapi dengan lantai.
Djuwari selalu bercerita kepada orang – orang bahwa memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada Jendral Sudirman) adalah kebanggaan yang sangat luar biasa. Kakek yang sudah mempunyai tiga cicit itu mengaku jika menjadi pemanggul tandu Sang Jendral merupakan sebuah pengabdian. Semua itu dilakukannya dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan sepeserpun. Menjadi seorang mantan pemanggul tandu Sudirman menjadikan keluarga Djuwari beberapa kali didatangi cucu Sang Panglima Besar. Pernah suatu kali, ia diberi uang Rp. 500.000,00, namun setelah itu belum ada yang datang membantunya lagi.
Pemerintahan yang cukup baik kepadanya adalah zaman mantan Presiden Soeharto, sesekali dia digelontor bantuan beras. “Dulu mangkulnya bergantian, kira – kira sekitar tujuh orang” tuturnya. Perjalanan mengantar perang gerilya Jendral Sudirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi dan dikawal banyak pria berseragam. Rute perjalanan yang ditempuh teramat berat karena medan berbukit – bukit dan hutan yang teramat lebat dan gelap.
foto:istimewa |
Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah mamanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup. Sedangkan tandu yang dulu dipergunakan untuk memanggul Panglima Sudirman dalam Perang Gerilya mengusir penjajah, sekarang tersimpan rapi di Museum Satria Mandala. (sumber: kompasiana.com)